Apa Kabar Radio Kampus?


Apa Kabar Radio Kampus? Idealnya radio kampus berada di garda depan sebagai penggerak proses demokratisasi di Indonesia. Sayangnya, radio kampus di Indonesia tak punya ruh dan kekuatan untuk menyebarkan isu hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan demokrasi.

Dari beberapa literatur yang ada, tidak banyak ditemukan tulisan yang mengupas perkembangan radio mahasiswa. Kebanyakan tulisan mengupas seputar pers mahasiswa, itu pun hanya sebatas media cetak. Data mengenai radio kampus pun sulit didapat. Jadi sulit untuk memetakan kekuatan radio mahasiswa. Kendala Radio Kampus Dari hasil obrolan dengan pengelola radio kampus, seperti Radio Teknik Club (RTC) UI, Stupa (Universitas Pancasila), dan Sintesa (Institut Sains dan Teknologi Nasional), terungkap banyak kendala yang menghimpit radio kampus, berupa kendala teknis dan psikologis. Pertama, pemerintah tidak menyediakan frekuensi khusus untuk radio kampus. Frekuensi ternyata telah dikapling-kapling oleh swasta. Akibatnya, radio kampus terpaksa harus bergerilya mencari frekuensi “nganggur” atau menunggu radio swasta selesai siaran. Mungkin yang sangat beruntung adalah radio teman-teman mahasiswa di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, yang mendapat hibah frekuensi dari Menteri Perhubungan di era Orde Baru Soesilo Soedarman. Radio Kampus EBS UNHAS 107,2 Mhz kini mengudara dengan frekuensi resmi. Kedua, kontinuitas. Banyak radio kampus yang sulit berkembang karena sibuk dengan kegiatan kuliah. Siaran terpaksa batal gara-gara bentrok dengan ujian. Atau karena “proyek terimakasih”, banyak teman-teman yang siaran malas-malasan, kecuali pendirinya, karena ia punya ikatan emosional sehingga punya rasa tanggung jawab yang tinggi (sense of belonging). Ketiga, sumber daya yang pas-pasan. Mahasiswa kebanyakan modal semangat. Saking semangatnya kadang lupa otak tak pernah diisi. Pelatihan tak pernah diadakan. Acaradan teknik siaran pun seadanya. Keempat, teknologi yang pas-pasan. Kebanyakan radio-radio kampus hasil kreatif anak-anak teknik. Misalnya di Universitas Pancasila, UI, dan ISTN, semua “arsiteknya” anak-anak teknik dengan bantuan peralatan seadanya. Kelima, modal yang pas-pasan. Untuk biaya operasional banyak keluar dari kocek sendiri. Atau kalau seperti UI, mereka mencari donatur dari para alumni. Tetapi lebih banyak radio kampus yang sekadar menyebarkan kartu request yang dijual pada teman-teman kampus sendiri. Namun, itu tidaklah cukup untuk membiayai telepon dan listrik serta perawatan alat yang sering rusak. Karena itu, dalam sebuah seminar di Yogyakarta, Direktur Indonesia Media Law and Police Center (IPLPC) Hinca I.P. Panjaitan menyarankan agar radio kampus menjadi unit kegiatan mahasiswa (UKM). Dengan begitu, akan mendapatkan dana rutin dari lembaga dana atau pun rektorat. Mahasiswa juga harus selalu berkomunikasi dengan rektor agar program radio di kampus dapat berjalan lancar. Keenam, positioning radio kampus tidak jelas. Acaranya tidak terprogram dan tidak bervariasi. Karena acaranya tidak menarik, dengan sendirinya ditinggalkan pendengarnya. Ketujuh, karena memang kampus sendiri yang tidak menghendaki atau mendukung berdirinya radio kampus. Ini banyak dirasakan teman-teman di daerah. Banyak yang kampusnya tidak mengizinkan berdirinya radio kampus, entah apa alasannya. Hal ini tidaklah rasional dan sama sekali tidak masuk akal. Radio kampus sendiri paling tidak akan mewarnai kegiatan mahasiswa di kampus, bahkan bisa menjadi laboratorium bagi mahasiswa di kampus. Tidaklah terlalu sulit untuk mendirikan radio. Tak masalah mendirikan radio ilegal pun. Karena selama ini mahasiswa tidak mendapat keadilan—dengan tidak disediakannya frekuensi khusus untuk mahasiswa. Kekhawatiran PRSSNI Belakangan malah keberadaan lembaga penyiaran komunitas (LPK) yang tercantum dalam Rancangan Undang-Undang Penyiaran itu ditolak pemerintah dan Perusahaan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI). Ketua PRSSNI Gandjar Suwargani bahkan menyebutkan LPK itu sebagai pesanan pihak asing. Gandjar juga menuding penyiaran komunitas, termasuk di dalamnya radio mahasiswa, akan merusak nasionalisme dan menumbuhkan konflik di kalangan akar rumput. Sementara itu, pemerintah memberi alasan: masyarakat belum siap, kebutuhan LPK masih dapat dipenuhi dua lembaga penyiaran lainnya, dan terakhir LPK mengakibatkan pemborosan penggunaan spektrum frekuensi. Kekhawatiran PRSSNI itu memang cukup beralasan karena ini berkaitan dengan ketakutan penyelenggara siaran radio swasta di daerah, kue iklannya bakal terbagi. Lebih-lebih para pakar dan praktisi periklanan kini lebih banyak menggunakan konsep komunitas. Artinya, para pemasang iklan beralasan, memasang iklan di media yang berbasis komunitas lebih efektif dan efisien untuk produk tertentu. Dalam catatan kritisnya untuk RUU Penyiaran, Persatuan Periklanan Indonesia (P3I) mempertanyakan kenapa LPK tak diperbolehkan menyiarkan iklan, kecuali iklan layanan masyarakat. Dalam perspektif dunia periklanan, LPK padahal justru merupakan pasar yang pas untuk memasyarakatkan produk-produk tertentu, misalnya, radio kampus. Iklan yang segmen pasarnya mahasiswa sangat tepat jika dipromosikan melalui radio kampus. Terlepas dari itu semua, radio mahasiswa memang harus membumi. Sebagai lembaga penyiaran yang berada di lingkungan institusi pendidikan, tentu saja radio kampus tak bisa lepas dari konsep akademik, ilmiah, kritis, serta peduli akan lingkungan dan masyarakat.

(Yayat R. Cipasang, pengelola sebuah radio komunitas di Bogor, Jawa Barat, serta peneliti pada Lembaga Kajian Media Massa dan Budaya) di kutip dari http://www.sinarharapan.co.id/berita/0206/ tgl 26 September 2008.

Tinggalkan komentar

Filed under Penyiaran

Tinggalkan komentar